Kedatangan
Udara pagi di desa itu masih basah oleh embun. Jalan menuju sekolah kecil, diapit sawah yang luas, sebagian sudah mulai menguning. Di kejauhan, bangunan sederhana berwarna putih pucat tampak berdiri, SDN Tunas Harapan.
Bangunan sekolah itu tak besar, hanya ada enam ruang kelas berjajar, satu ruang guru, dan sebuah ruangan kecil yang berfungsi ganda sebagai kantor kepala sekolah sekaligus ruang tamu. Dindingnya mulai kusam, atap genteng sebagian sudah ditambal dengan asbes. Halamannya luas namun gersang, hanya ada pohon beringin tua di tengah yang jadi tempat favorit anak-anak bermain.
Anda berdiri sejenak di depan gerbang besi yang catnya mulai berkarat. Ada rasa berdebar, sekaligus penasaran. Inilah hari pertama Anda sebagai mahasiswa semester akhir yang akan melakukan penelitian. Penelitian ini bukan sekadar kewajiban akademis, di hati kecil, Anda ingin benar-benar memahami bagaimana kehidupan anak-anak di sekolah dasar dengan segala keterbatasannya.
Pertemuan Pertama dengan Kepala Sekolah & Guru
Di ruang kepala sekolah, Anda disambut oleh Pak Rahmat, seorang pria berusia 50-an tahun dengan rambut sebagian sudah beruban. Wajahnya tegas namun hangat. Ia menyodorkan tangan dengan mantap.
“Selamat datang, Nak. Saya Pak Rahmat, kepala sekolah di sini. Senang sekali ada mahasiswa yang mau meneliti di sekolah kami,” ucapnya.
Anda menjawab dengan gugup, “Terima kasih, Pak. Saya ingin melakukan penelitian tentang motivasi belajar siswa kelas 5.”
Tak lama, masuklah Bu Sari, guru kelas 5. Ia berusia 38 tahun, mengenakan jilbab sederhana dan kacamata tipis. “Mari, Nak. Anak-anak sudah menunggu di kelas. Mereka agak ramai, tapi berhati baik.”
Pertemuan Pertama dengan Siswa Kelas 5
Ruang kelas 5 berada di pojok timur sekolah. Dari luar, jendela kayunya sudah rapuh, pintu berderit saat dibuka. Begitu Anda masuk, suasana riuh: ada 32 siswa di dalam, sebagian duduk rapi, sebagian lain bercanda dan menggambar. Papan tulis kusam, meja dan bangku penuh coretan.
“Anak-anak,” panggil Bu Sari. “Hari ini kita kedatangan tamu, Kakak mahasiswa yang akan menemani kita beberapa minggu.” “Selamat pagi, Kak!” sahut mereka serentak.
Kenyataan 1: Motivasi Belajar Rendah
Saat pelajaran Matematika dimulai, hanya tiga anak yang mengangkat tangan. Banyak yang diam atau asyik mencoret-coret buku. Seorang anak, Bima, lebih suka menggambar mobil daripada mencoba menjawab soal.
Catatan observasi: “Motivasi belajar rendah. Banyak siswa pasif, merasa pelajaran sulit, terutama Matematika.”
Kenyataan 2: Fasilitas Belajar Minim
Saat pelajaran IPA, Bu Sari menjelaskan siklus air hanya dengan gambar kapur. Ani, siswa perempuan, bertanya polos: “Airnya naik ke langit pakai tangga, Bu?” Tanpa alat peraga, sulit bagi anak-anak membayangkan proses ilmiah sederhana.
Catatan observasi: “Fasilitas belajar sangat terbatas. Tidak ada alat peraga IPA. Buku pelajaran minim dan tidak merata.”
Kenyataan 3: Disiplin Rendah
Saat bel berbunyi, beberapa anak masih bermain bola di lapangan. Meski sudah dipanggil, mereka enggan segera masuk kelas. Bu Sari berulang kali menegur, namun wajahnya terlihat lelah.
Catatan observasi: “Disiplin siswa rendah. Sering terlambat masuk kelas, tidak fokus saat pelajaran.”
Momen Bersama Anak-anak
Sore itu, Ani bertanya polos, “Kak, kalau aku besar bisa jadi guru nggak? Tapi di rumahku nggak ada buku.” Sementara Bima berbisik lirih, “Kalau aku belajar terus, apa aku bisa pintar Matematika?”
Anda menatap mata mereka. Ada secercah harapan. Anak-anak ini tidak malas, mereka hanya butuh keyakinan dan perhatian.
Diskusi dengan Kepala Sekolah
Anda melaporkan pada Pak Rahmat: “Saya melihat tiga masalah utama: motivasi belajar rendah, fasilitas terbatas, dan disiplin yang kurang.”
Pak Rahmat mengangguk berat. “Saya tahu itu, Nak. Guru kami sudah berjuang keras. Anak-anak butuh cara baru, butuh perhatian.”
Refleksi
Malamnya, Anda menulis di buku harian penelitian:
“Hari ini aku belajar sesuatu yang lebih penting dari teori. Pendidikan bukan sekadar angka di rapor. Pendidikan adalah tentang hati. Tentang guru yang sabar, tentang anak-anak yang ingin diperhatikan, dan kepala sekolah yang tetap berdiri meski penuh keterbatasan. Tugas penelitianku adalah menemukan cahaya kecil itu—harapan yang bisa bersinar jika ada yang percaya pada mereka.”
