Kedatangan
Pagi itu, matahari mulai naik perlahan di atas sawah yang membentang luas. Jalan kecil yang berdebu mengantar langkah Anda menuju sebuah sekolah sederhana bernama MI Tunas Harapan. Gedung sekolah itu tidak besar, dengan enam ruang kelas, sebuah musholla kecil, dan satu ruang guru yang merangkap kantor kepala madrasah.
Sebagai mahasiswa pendidikan yang sedang menulis skripsi tentang Evaluasi Pembelajaran, hari itu adalah pertama kalinya Anda turun langsung untuk penelitian lapangan. Ada rasa berdebar, juga antusiasme.
Di ruang kepala madrasah, Anda disambut oleh Pak Rahmat, kepala MI Tunas Harapan. Wajahnya teduh, dengan kacamata yang sering melorot ke ujung hidung. Ia menyalami Anda dengan hangat.
“Selamat datang, Nak. Kami senang sekali ada mahasiswa yang mau meneliti di madrasah ini. Evaluasi pembelajaran memang penting, tapi seringkali jadi hal yang terabaikan,” katanya.
Anda mengangguk sopan. “Terima kasih, Pak. Saya ingin fokus melihat bagaimana proses evaluasi pembelajaran di kelas 5. Bagaimana guru menilai, apa tantangan yang dihadapi, dan bagaimana siswa merespons.”
Pertemuan Pertama dengan Kelas 5
Ruang kelas 5 tidak terlalu besar, dindingnya dipenuhi poster doa-doa harian, jadwal piket, dan tulisan ayat-ayat pendek. Di dalamnya ada 30 siswa dengan wajah bersemangat.
“Assalamu’alaikum, anak-anak. Hari ini kita kedatangan tamu. Ini Kakak mahasiswa yang sedang meneliti tentang cara belajar kalian,” kata Bu Sari.
“Wa’alaikum salam, Kak!” jawab mereka serentak. Suasana riuh, tapi hangat.
Anda duduk di pojok, mencatat, mengamati. Dari situlah, perlahan mulai terlihat beberapa masalah yang berkaitan langsung dengan evaluasi pembelajaran.
Masalah Pertama: Evaluasi Hanya Fokus pada Hasil Akhir
Hari itu, Bu Sari memberikan ulangan harian Matematika. Soalnya tentang pecahan. Setelah waktu habis, ia mengumpulkan lembar jawaban.
Namun Anda perhatikan, banyak anak terlihat bingung saat mengerjakan. Sebagian bahkan asal menebak.
“Bagaimana biasanya Bu Sari menilai kemampuan anak-anak?” tanya Anda pelan setelah pelajaran usai.
“Ya, seperti ini, Nak. Lewat ulangan tertulis. Nanti saya koreksi, lalu diberi nilai. Itu yang diminta dalam rapor,” jawabnya.
Catatan:
Evaluasi masih didominasi tes tertulis. Hanya menekankan hasil akhir, bukan proses. Anak yang rajin tapi nilainya kecil terlihat sama dengan anak yang malas. Aspek sikap dan keterampilan kurang terpantau.
Sore itu, seorang siswa bernama Bima mendekati Anda. “Kak, kalau aku nilainya jelek, apa aku bodoh?” tanyanya polos. Pertanyaan itu menusuk hati. Evaluasi yang terlalu fokus pada nilai angka membuat anak-anak merasa rendah diri.
Masalah Kedua: Kurangnya Variasi Instrumen Evaluasi
Pada pelajaran IPA, Bu Sari menjelaskan tentang siklus air. Ia memberikan tugas tertulis untuk menggambar.
Sebagian anak tampak senang, tapi banyak juga yang kebingungan. Hanya ada satu cara penilaian: lewat hasil gambar di kertas.
“Bu, apakah pernah menggunakan portofolio, penilaian praktik, atau observasi sikap?” tanya Anda hati-hati.
“Sebenarnya ada di kurikulum, Nak. Tapi keterbatasan waktu dan fasilitas membuat saya jarang melakukannya. Lebih cepat pakai tes atau tugas.”
Catatan:
Instrumen evaluasi kurang bervariasi. Tes tulis mendominasi. Aspek keterampilan, praktik, sikap jarang dievaluasi.
Ani, siswi kreatif, menunjukkan gambarnya pada Anda. Gambar itu sederhana tapi penuh warna. Namun ia berkata, “Aku suka menggambar, Kak. Tapi kalau pelajaran lain, aku sering takut salah.”
Anda sadar, banyak potensi anak yang tidak muncul karena evaluasi terlalu sempit.
Masalah Ketiga: Umpan Balik yang Kurang Efektif
Beberapa hari kemudian, Bu Sari mengembalikan hasil ulangan Matematika. Ia hanya menyebutkan siapa yang mendapat nilai tertinggi, lalu membagikan kertas.
Anak-anak yang nilainya tinggi tampak bangga. Tapi mereka yang nilainya rendah, seperti Bima, hanya menunduk. Tidak ada pembahasan soal, tidak ada arahan tentang di mana letak kesalahan.
Anda mendekati Bima. “Bim, sudah tahu salahnya di mana?”
Bima menggeleng. “Nggak tahu, Kak. Pokoknya salah. Jadi ya sudah.”
Catatan:
Umpan balik hampir tidak ada. Siswa tidak tahu di mana kesalahan mereka, sehingga sulit memperbaiki diri. Evaluasi hanya berhenti pada angka, tidak menjadi alat untuk belajar.
Diskusi dengan Kepala Madrasah
Sore harinya, Anda dipanggil ke ruang kepala madrasah. Pak Rahmat menatap Anda serius. “Jadi, apa yang sudah kamu lihat?”
p>Anda membuka catatan:1. Evaluasi masih berfokus pada hasil akhir, bukan proses.
2. Instrumen evaluasi kurang bervariasi, lebih banyak tes tertulis.
3. Umpan balik kepada siswa minim, sehingga anak tidak tahu bagaimana memperbaiki kesalahannya.
Pak Rahmat menarik napas panjang. “Ya… itulah tantangan kami. Guru sudah berusaha, tapi banyak hal yang membatasi. Waktu, kurikulum, bahkan pemahaman kami tentang evaluasi yang ideal. Tapi saya yakin, evaluasi itu kunci. Kalau hanya angka, anak-anak bisa merasa gagal. Padahal mereka punya potensi lain.”
Momen Inspiratif
Beberapa hari kemudian, Anda mencoba sesuatu. Anda duduk bersama beberapa anak, lalu mengajak mereka membahas soal ulangan Matematika yang salah.
“Lihat, Bim. Di sini kamu salah menghitung pecahan. Kalau coba ulang dengan cara ini, hasilnya benar.”
Bima menatap kertasnya, lalu tersenyum kecil. “Oh… ternyata gampang ya, Kak. Aku bisa!”
Ani, yang selalu takut salah, akhirnya berani mencoba menjawab soal di papan tulis setelah Anda memberinya semangat.
Hari itu Anda melihat sesuatu yang berbeda, anak-anak sebenarnya bisa, jika diberi umpan balik yang tepat dan kesempatan mencoba ulang.
Refleksi
Malamnya, di buku harian penelitian Anda menulis:
Evaluasi pembelajaran bukan hanya soal memberi nilai. Evaluasi adalah cara untuk membantu anak belajar lebih baik. Jika hanya angka, anak bisa merasa gagal. Tapi jika ada variasi, ada umpan balik, dan ada perhatian pada proses, maka evaluasi menjadi jembatan untuk tumbuh.
Di MI Tunas Harapan, saya melihat tiga masalah utama, terlalu fokus pada hasil, kurang variasi instrumen, dan minimnya umpan balik. Namun di balik itu, saya juga melihat harapan: anak-anak yang haus bimbingan, guru yang tetap berjuang, dan kepala madrasah yang peduli.
Penelitian ini bukan sekadar tugas kuliah. Ini pelajaran hidup, bahwa evaluasi sejati adalah tentang menghargai usaha, bukan sekadar angka.”
Anda menutup buku itu dengan senyum kecil. Di madrasah sederhana itu, Anda belajar bahwa pendidikan bukan hanya mengukur kemampuan, tapi juga menyentuh hati.
